Dilema Pembangunan Kebudayaan: Cultural Relativism vs Developmentalism


Pada akhir bulan Mei 2009 lalu, pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono hadir dalam dialog “Presiden dan Kebudayaan” yang diselengggarakan oleh Federasi Teater Indonesia (FTI) di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Sebagaimana diberitakan oleh Seputar Indonesia (29/5), SBY mengemukakan pentingnya kebudayaan bagi landasan jati diri dan karakter bangsa. Beliau juga mengakui bahwa hingga saat ini pembangunan kebudayaan belum sampai pada tahap yang diinginkan. Sementara itu, sang tandem Boediono mengemukakan perlunya korelasi antara pembangunan ekonomi dan kebudayaan. Tak lama setelah itu, di awal bulan ini beberapa tokoh yang digelari budayawan dan seniman menghendaki agar kebudayaan dimasukkan ke dalam tema debat capres 2009, yang kemudian kita ketahui bahwa harapan mereka tidak terwujud.

Peristiwa tersebut penulis anggap sebagai bagian dari wacana pembangunan kebudayaan. Para budayawan dan seniman itu berkeinginan agar pemerintah lebih perhatian terhadap pembangunan kebudayaan. Mereka ingin mengetahui visi dan misi para capres dan cawapres dalam bidang kebudayaan.

Pembangunan kebudayaan harus diakui memang agak terpinggirkan. Ia bukanlah prioritas dalam agenda pembangunan selama ini. Alasan yang sudah jamak kita dengar adalah bahwa pembangunan ekonomi lebih penting daripada pembangunan kebudayaan. Tentu saja banyak perdebatan mengenai hal ini tetapi penulis tidak hendak membahas perdebatan itu apalagi menjadi bagian dari perdebatan. Tulisan ini bermaksud mengutarakan bahwa pembangunan kebudayaan itu suatu keharusan. Hal yang paling penting adalah menyusun langkah strategis agar pembangunan kebudayaan benar-benar memberikan pengaruh terhadap kesejahteraan rakyat.

Hal ihwal pembangunan kebudayaan itu tidaklah sederhana. Tulisan ini mencoba mengurai gonjang-ganjing cara pandang (perspektif) terhadap pembangunan kebudayaan. Dengan tujuan menyejahterakan masyarakat, pembangunan kebudayaan adalah suatu keharusan tetapi tidak sepi dari penolakan. Penolakan ini datang dari pihak-pihak yang berpandangan bahwa pembangunan akan mencabut masyarakat dari akar budayanya. Mereka inilah penganut paham cultural relativism, penentang developmentalism.

Cultural Relativism vs Developmentalism

Paham cultural relativism (relativisme budaya) berpandangan bahwa setiap kebudayaan itu unik dan tidak dapat diukur berdasarkan standar kebudayaan lain. Cultural relativism mengharamkan pembangunan kebudayaan karena dalam paham ini penggolongan atau klasifikasi kebudayaan maju-tertinggal dan modern-primitif adalah tidak relevan. Perubahan kebudayaan haruslah diserahkan kepada mekanisme “alamiah”, tanpa campur tangan agen-agen perubahan.

Penganut relativisme kebudayaan percaya bahwa pembangunan kebudayaan akan menghilangkan nilai-nilai yang terkandung dalam suatu kebudayaan. Dengan kata lain, para cultural relativist percaya bahwa pembangunan kebudayaan akan mencabut masyarakat dari akar budayanya. Hal ini dalam ekstrem tertentu membawa pada penolakan terhadap keberadaan lembaga pemerintah yang mengurusi kebudayaan, misalnya Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Sementara itu, paham developmentalism (pembangunanisme atau modernisasi), dalam hal pembangunan kebudayaan, berpendirian bahwa ada kebudayaan maju dan ada yang tertinggal atau ada kebudayaan modern dan ada yang primitif. Pada awal perkembangannya, yang dijadikan ukuran adalah kemajuan kebudayaan yang telah dicapai oleh Orang Barat (Eropa dan Amerika serta negara-negara bule lainnya) dan perkembangan selanjutnya ukurannya adalah kebudayaan dominan suatu masyarakat. Kebudayaan dominan adalah kebudayaan yang menjadi acuan utama bagi masyarakat di antara berbagai kebudayaan atau subkebudayaan lain yang hidup dalam masyarakat tersebut.

Contoh perbedaan pandangan antara developmentalism dan cultural relativism dapat dicontohkan dengan kasus masyarakat tribal atau masyarakat suku bangsa, yang hidup dalam kesahajaan dan biasa diberi label “primitif”. Sebagai contoh penulis ambil Orang Dani yang ada di Papua. Bagi penganut developmentalism, Orang Dani yang banyak di antaranya tidak berpakaian adalah manusia-manusia “primitif” yang harus dibawa menuju peradaban. Peradaban yang dimaksud adalah pakaian yang “layak”, memakan nasi, rumah yang permanen dan banyak ukuran modernitas lainnya. Sementara itu bagi para penganut cultural relativism, Orang Dani itu harus dibiarkan saja agar dengan sendirinya berubah secara “alamiah”. Pemberian pakaian untuk Orang Dani itu bukanlah solusi dan menyebabkan Orang Dani tercerabut dari akar budayanya.

Pembangunan untuk Kesejahteraan Rakyat

Hal yang problematis dari developmentalism adalah penyamarataan tanpa memperhatikan aspek nilai budaya dari suatu masyarakat. Arogansi developmentalism mengejewantah dalam program-program, misalnya, pemukiman kembali masyarakat terasing (PMKT) dan revolusi hijau. Hal yang dituju adalah konvergensi, bahwa semua masyarakat di dunia harus meninggalkan dunia primitif atau tribal serta diarahkan untuk jadi “modern”.

Sementara itu cultural relativism tidak mengimplikasikan strategi untuk menyejahterakan rakyat. Penolakannya terhadap pembangunan kebudayaan didasarkan pada anggapan bahwa setiap masyarakat memiliki persepsi mereka masing-masing mengenai kesejahteraan dan atau kemakmuran. Suatu kebudayaan tidak dapat dinilai dengan ukuran-ukuran modernitas karena pada dasarnya setiap kebudayaan itu setara, tidak ada yang maju atau tertinggal.

Pembangunanisme dan relativisme budaya memang memiliki landasan logika dan etika masing-masing. Namun, harus kita akui bahwa dalam kedua paham itu juga mengandung kelemahan, terutama ketika kita berkepentingan untuk membuat kebijakan dengan tujuan kesejahteraan rakyat. Kita juga tidak bisa berdiam diri melihat kesenjangan ekonomi-sosial-budaya yang terjadi di masyarakat kita. Diperlukan langkah strategis untuk membangun kebudayaan, yang pada hakikatnya adalah membangun manusia Indonesia. Dengan kata lain, kita harus dapat menemukan jalan di luar koridor paham developmentalism dan cultural relativism dalam rangka pembangunan kebudayaan.

Apabila kita menilik pengertian kebudayaan yang banyak digunakan, di antaranya yaitu dari Koentjaraningrat, kita ketahui bahwa kebudayaan itu memiliki tiga wujud, yaitu ide atau gagasan, perilaku dan hasil perilaku atau artefak. Selanjutnya, bahwa inti dari kebudayaan itu, menurut Koentjaraningrat, adalah ada pada sistem ide atau sistem gagasan. Dengan kata lain, kebudayaan itu intinya ada di dalam diri manusia dalam bentuk sistem ide atau sistem gagasan. Pemahaman ini juga dilengkapi oleh Parsudi Suparlan yang menyatakan bahwa garis besar pengertian kebudayaan adalah seperangkat pengetahuan yang dijadikan pedoman bagi manusia untuk menghadapi lingkungannya.

Terhadap sistem ide atau sistem gagasan inilah seharusnya pembangunan kebudayaan diarahkan. Pembangunan kebudayaan seharusnya diartikan sebagai program-program terarah dan strategis terhadap mental manusia agar manusia tersebut berdaya dan dapat menghadapi lingkungannya dengan baik. Secara nyata, pembangunan kebudayaan dilakukan melalui pendidikan dalam segala bentuk dan jenisnya, baik formal maupun informal.

Manusia menghadapi lingkungan yang terus berubah, baik itu lingkungan fisik maupun lingkungan sosial-budaya, terlebih di masa sekarang. Kontak di antara penghuni bumi sudah sedemikian intens. Orang Dani dapat saja hidup nyaman dengan segala kesahajaannya, tetapi mereka juga harus dapat bersikap dengan baik ketika berhadapan dengan modernitas, sebagai wujud perubahan lingkungan sosial mereka. Kesahajaan mereka memang telah mengantarkan mereka menempuh perjalanan ratusan tahun, tetapi mereka harus mampu mengembangkan kearifan baru untuk menghadapi dunia yang “menyempit”. Inilah kritik terhadap cultural relativism, bahwa pembangunan kebudayaan perlu dilaksanakan agar masyarakat berdaya dalam menghadapi lingkungan yang terus berubah.

Namun, dalam hal pembangunan kebudayaan itu tidak boleh dilakukan serampangan dengan penyamarataan dan pemaksaan, seperti yang telah ditunjukkan oleh developmentalism. Pendekatan humanis mutlak diperlukan. Masyarakat tribal perlu berubah tetapi jangan serta merta diberi pakaian dan dipaksa tinggal di rumah tembok. Mereka harus didekati dengan pendidikan agar mereka menyadari bahwa dunia sudah sedemikian rupa berkembang dan kita semua terlibat di dalamnya. Dengan demikian, diharapkan mereka dapat mengerahkan potensinya untuk menghadapi lingkungannya dan mencapai kesejahteraan.

Semua argumen penulis tentang pentingnya pembangunan kebudayaan dilandasi oleh pandangan bahwa kita tidak dapat membiarkan ada sebagian saudara kita yang tertinggal, baik secara ekonomi, sosial maupun budaya. Program pembangunan ekonomi saja tidak menjadi jawaban, karena ini menyangkut mental manusia. Pendekatan humanis melalui pendidikan adalah cara melaksanakan pembangunan kebudayaan.

Komentar

Postingan Populer